Jejak Cahaya: Tradisi Lampu Minyak di Kampung Ciptagelar Sukabumi yang Bertahan di Era Digital

Di tengah gempuran teknologi dan modernisasi yang kian pesat, ada satu tempat di Sukabumi yang seolah hidup dalam ritme waktu yang berbeda. Kampung Adat Ciptagelar, yang terletak di kaki Gunung Halimun, tetap teguh memegang adat istiadat warisan leluhur. Salah satu bentuk warisan budaya yang masih dijaga adalah penggunaan lampu minyak sebagai sumber penerangan utama saat malam tiba.
Menyibak Sejarah dan Makna Lampu Minyak
Lampu minyak di Kampung Ciptagelar bukan sekadar alat penerangan. Ia adalah simbol filosofi hidup masyarakat adat yang menjunjung tinggi kesederhanaan dan keharmonisan dengan alam. Di saat sebagian besar wilayah Indonesia bahkan dunia sudah beralih ke listrik dan lampu LED, masyarakat Ciptagelar memilih untuk tetap menyala dengan cahaya temaram lampu minyak.
Tradisi ini tidak muncul begitu saja. Sejak dahulu, lampu minyak menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sunda Kasepuhan. Bukan hanya sebagai alat bantu melihat di kegelapan, tetapi juga sebagai bagian dari ritus dan nilai-nilai spiritual. Lampu minyak melambangkan pencerahan batin, kehangatan keluarga, serta pengingat untuk hidup tidak berlebihan.
Filosofi Hidup yang Membumi
Acep, salah satu tokoh muda di Ciptagelar, menjelaskan bahwa masyarakat kampungnya percaya bahwa hidup harus selaras dengan alam. “Kami tidak menolak teknologi, tapi kami juga tidak ingin terputus dari akar budaya kami,” ujarnya. Lampu minyak, meski terlihat kuno, menjadi pengingat penting bahwa kemajuan tidak harus meninggalkan nilai-nilai tradisional.
Lampu minyak juga digunakan dalam upacara adat, seperti Seren Taun, sebuah perayaan tahunan sebagai bentuk syukur atas hasil panen. Dalam ritual ini, lampu-lampu minyak dinyalakan sebagai bagian dari penghormatan kepada leluhur dan alam semesta. Ini menunjukkan bahwa keberadaan lampu minyak tidak hanya fungsional, tetapi juga sakral.
Tantangan Zaman Modern
Meski masih bertahan, keberadaan tradisi lampu minyak bukan tanpa tantangan. Masuknya listrik dan internet ke beberapa wilayah sekitar Ciptagelar mulai memengaruhi pola pikir generasi muda. Beberapa mulai mempertanyakan kepraktisan lampu minyak, yang membutuhkan minyak tanah dan perawatan berkala.
Namun, masyarakat Ciptagelar memiliki cara tersendiri untuk menjawab tantangan ini. Alih-alih menolak perubahan, mereka justru memilih jalan tengah. Teknologi digunakan secara terbatas dan bijak. Misalnya, listrik digunakan hanya untuk kebutuhan umum seperti komunikasi dan dokumentasi, sementara kehidupan sehari-hari tetap mengandalkan metode tradisional.
Perspektif Generasi Muda
Menariknya, banyak anak muda di Ciptagelar yang justru bangga dengan tradisi ini. Mereka aktif mempromosikan budaya kampung melalui media sosial dan dokumenter, memperkenalkan kepada dunia luar bagaimana hidup dengan nilai-nilai lokal bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap gaya hidup konsumtif.
Dewi, seorang remaja cmd368 login yang sedang menempuh pendidikan di luar kampung, mengatakan bahwa lampu minyak membuatnya merasa “pulang”. “Setiap kali saya kembali ke Ciptagelar dan melihat cahaya lampu minyak di malam hari, saya merasa damai. Itu seperti pelukan dari leluhur kita,” ungkapnya.
Pelajaran dari Ciptagelar
Apa yang dilakukan masyarakat Ciptagelar memberikan pelajaran berharga. Dalam era yang serba cepat dan digital ini, mereka menunjukkan bahwa identitas budaya bisa tetap lestari tanpa harus menolak kemajuan. Tradisi bukanlah penghambat, melainkan penuntun arah agar tidak kehilangan jati diri.
Lampu minyak di Ciptagelar adalah metafora yang indah. Meski kecil dan sederhana, cahayanya mampu menembus gelap, memberikan kehangatan dan makna. Ia menjadi saksi bahwa di sebuah sudut Indonesia, ada sekelompok orang yang tetap menjaga cahaya tradisi agar tidak padam.
Kampung Ciptagelar adalah bukti bahwa warisan budaya bisa hidup berdampingan dengan modernitas. Di tengah riuhnya dunia digital, suara sumbu lampu minyak yang berderak pelan masih terdengar, mengingatkan kita bahwa terang tidak selalu datang dari yang paling terang. Terkadang, justru yang paling temaram itulah yang paling tulus menyinari.